Senin, 04 November 2013

2 Permata Jiwa

ISTIMRORIYAH & TAWAZUN

Dua hal yg sangat mendasar dalam beragama.... istimroriyah (kontinyuitas) dan tawazun (keseimbangan).

Istimroriyah (kontinyuitas) berbicara ttg konsistensi, daya tahan dan kesiapan menghadapi cobaan.

Sedangkan tawazun (keseimbangan) berbicara tentang pemahaman, kendali diri dan proporsionalitas.

Hal ini karena beragama bukan semata masalah emosi, juga bukan semata masalah intelektual.

Beragama adalah sebuah keyakinan yang diwujudkan dalam amal yang berimbang, terus dijaga hingga ajal menjelang.

istimroriyah, dlm bhs syariat disebut dg istiqamah ... konsistensi. Disini kt berbicara ttg kesungguhnya berprinsip.

Istimroriyah terkait erat dg konsep Khusnul Khatimah. Sabda Nabi, penilaian amal ada di akhir (Shahih Ibnu Hibban).

Dalam Al-Quran, jg telah dipesan; "Jangan mati kecuali dlm keadaan Islam.." (QS. Ali Imran: 102).

Itu berarti perintah utk menjaga iman dan amal sampai detik2 terakhir. Krn tdk ada satupun dri kt yg tahu kapan kemtian kan datang.

Menjaga istimroriyah memiliki tantangan tersendiri, karena manusia memiliki sifat bosan.

Karenanya Allah sangat mencintai perbuatan yg istimror (kontinyu) walau sedikit (Muttafaq alaih).

Dalam banyak hal, keberhasilan dan kegagalan kita lbih ditentukan oleh istimroriyah atau tidak tidaknya dibanding faktor lainnya.

dakwah, ngaji, belajar, menggelar program, dll... sangat beda tentu saja hasilnya antara yg istimror dg yg tidak.

Dlm dakwah misalnya, kt sering terpesona dg semangt luar biasa, dan jumlah besar. namun seringkali hanya sesaat saja.

Semntara yg menggelar pengajian bertahun-tahn secara kontinyu dan dihadiri beberpa puluh atau gelintir org saja, sering tdk dianggap.

Padahl justeru dari sana biasanya lahir para ulama, pemikir dan bahkan pemimpin nasional hingga internasional.

Istimroriyah memang mahal, dia butuh orang yang besar hatinya utk menapaki jalan dg tekun dn tidak terombang ambing kesana kemari.

Krna sehebat apapun sebuah idiologi, program, cita2, kalau tidak istimror menjalaninya, dia kan percuma.

Kita coba bicara ttg tawazun... keseimbangan... dlm bhs Al-Quran disebut 'adil'.

Adil bukan sama rata sama rasa... hal itu, pada taraf tertentu justeru zalim... adil adalah menemptkan sesuatu pada tempatnya.

Nah, beragama menuntut kita utk seimbang, artinya harus memenuhi segala kebutuhan sesuai proporsinya.

Kebutuhan rohani, materi, lahir, batin, harta, jiwa, tauhid, akhlak, sosial, individu, keluarga, masyrakat, dll.

Keseimbangan di sini artinya bukan dlm taraf minimal... yg penting ada.. tapi dlm taraf maksimal... masing2 terpnuhi scara maksimal.

Rasulullah saw, di tengah kelurga; org terbaik, dlm pemerintahan; kepla negara utama, dlm medan tempur; komandan, dlm ibadah; jgn ditanya.

Dalam sosial; semua senang, dlm bertutur kata; tak ada dusta dan menyakiti; Dalam tauhid; Emang itu misi utamanya.

Pendek kata... tawazun disini adalah pemenuhan secara proporsional serta maksimal setiap kebutuhan yg ada.

Disinilah kita sering tersandung... asyik belajar, lupa kebutuhan rohani, lupa cari materi, bahkan ada yg lupa 'cari isteri' :)

Ada yg asyik bekerja... abai dg intelektualnya, acuh dg sosialnya, tak peduli ibadahnya, apalagi dakwahya.

Ada yg semangat berzikir... tak mau berpikir, janjinya sering mangkir, sadaqahnya kikir, diajak berpolitik dia bilang.. mau pikir-pikir.

Ada yg mantap ajakan tauhidnya... tapi lisannya tajam, sikapnya seram, terhadap saudara bawaannya selalu geram.

Dlm beberapa riwyat Rasulullah saw menegur sikap beberapa shahabat yg tdk adil... walau sang shahabt melakukannya dg semngt agama.

Ingat hadits muttafaq alaih ttg tiga org shahabt.. setlah mendaptkan info dari Aisyah bgaiman ibadah Nabi saw.

yg satu bilng, akan puasa trus, yg satu bilang akan bangun mlam trus, yg satu bilng ga mau nikah.

Ketika tahu, justeru Nabi saw tegur mrk. Dia katakan, sy org paling bertakwa dan plng takut (Allah), saya puasa tp berbuka.

Sya shalat malam tp tidur.. sya juga mnikahi wanita.... Lalu Nbi tutup dg ucapan "Siapa yg tdk suka sunahku, dia bukan golonganku.."

Syangnya ucapn ini sering dikutp utk urusn nikah saja.. mestinya juga dipahami bahwa selain puasa, berbuka juga sunah,

selain shalat malam, tidur juga sunah... karena disana terdapat tawazun, pemenuhan terhada hak2 yg harus dipenuhi.

Seperti istimroriyah... tawazun juga berat.. karena kita sering subyektif melihat.. dan cenderung mengikuti nafsu.

Ini juga salah satu pintu setan dlm menyesatkan.. menghilangkan tawazun.. buat org tertentu, tdk digoda utk tidak shalat atau berzikir.

tapi digoda agar dg shalat dan zikirnya, membuat yg lain terbengkalai... tidak tawazun... buat yg lain, sebaliknya.

Terapi tawazun adalah, memahami Islam secara integral dan terus menerus mengamalkannya secara integral pula... Syamil gitu loh.

Adapula tambahannya... jangan pernah berhenti belajar dan memahami... bisa jadi awalnya tawazun, namun dlm perjalannya ada penympangan.

Atau utk suatu masa proporsi pemenuhan thd sesuatu sudah tepat, pada masa lainnya sudah tdk cocok proporsinya.

Antara istimroriyah (kontinyuitas) dan tawazun (keseimbangan) harus beriringan. Tidak boleh yg satu mengalhkan yg lain.

Istimror tp tidak tawazun atau tawazun tapi tidak istimroh... keduanya tiada guna.

Justeru keduanya saling melengkapi.. istimror akar mudah tercipta kalau seseorang tawazun dan tawazun akan tampak hasilnya kalau istimror.

Sebab tawazun adalah fitrah.. sesuatu yg fitrah, lebih mudah dan lebih mampu bertahan utk diteruskan.

Tawazun, walau lambat, terkesan tdk bombastis, dia akan tampak yg paling berkilauan di kemudian hari. sekian

By : pkspiyungan

Selasa, 29 Oktober 2013

Antara Marah dengan Memaafkan

Allah Ta’ala memuji orang-orang bertakwa dengan sifat memaafkan dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali ‘Imran:134).

Jika mereka disakiti orang lain yang menyebabkan timbulnya kemarahan dalam diri mereka, maka mereka tidak melakukan sesuatu yang diinginkan oleh watak kemanusiaan mereka (melampiaskan kemarahan), akan tetapi mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka [Tafsir As Sa'di: 148].

Keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika emosi.

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” [HR al-Bukhari (no. 5763) dan Muslim (no. 2609)]

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [HR Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), Ibnu Majah (no. 4186) dan Ahmad (3/440), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani]

Lantas bagaimana marah yang terpuji....?

Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan syariat Allah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah.” [HR al-Bukhari (no. 3367) dan Muslim (no. 2327)]

Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allah Ta’ala, yaitu marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allah Ta’ala di langgar oleh manusia.

By :nona ana

Kamis, 17 Oktober 2013

"Kemenangan Sudah Dekat"

"Taddabur QS Al-Baqqarah 214"

Allah berfirman

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيب

ٌ"Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, sebelum datang kepada kalian cobaan yg menimpa umat sebelum kalian? Mereka ditimpa kesusahan, penderitaan dan digoncang dgn berbagai cobaan dan ujian, sampai-sampai Rasul dan org-org yg beriman bersamanya berkata; "

kapan akan datang pertolongan/kemenangan dari Allah? Katakan sesungguhnya pertolongan dan kemenangan itu sudah dekat" (Al-Baqarah; 214)

Bila melihat kondisi ujian dakwah sekarang, maka ayat ini seakan turun untuk menjawab dan mengilustrasikan kondisi umat Islam saat ini, mari kita renungi beberapa ibrah dalam ayat ini:

1. Ayat ini menginformasikan kondisi ujian dan fitnah dahsyat yang dihadapi Rasulullah dan Umat Islam, sampai-sampai seorang Rasulpun bertanya "kapan pertolongan Allah datang" karena seluruh kemampuan dan usaha sebagai manusia untuk menghadapi fitnah dahsyat itu telah dilakukan, sementara pihak musuh terus melakukan penyiksaan, penangkapan dan pembunuhan seakan pihak musuh semakin kuat dan tidak terkalahkan. Tapi pada detik-detik seperti ini, Allah memberikan kabar gembira, bahwa kemenangan sebenarnya sudah sangat dekat, Allah sengaja ingin melihat puncak kesabaran hambaNya sehingga layak mendapat kemenangan dariNya.

2. Terkadang Allah sengaja memperlihatkan kehebatan musuh pada umat Islam, seakan mereka tidak terkalahkan, kemampuan umat tidak mampu melawan musuh dan seterusnya, bahkan melahirkan keputusasaan, tujuannya adalah agar umat tidak lagi mengandalkan kemampuan diri sendiri dan semua materi dunia yg mereka andalkan selama, kecuali hanya pada Allah swt.Dahsyatnya penderitaan digambarkan oleh Allah dalam surat Yusuf: 110 "sehingga para Rasul itu berputus asa dan mengira mereka akan didustakan.." Ibnu Zubair bertanya kepada Aisyah ra, apa maksud ayat ini?Aisyah ra menjawab, "Para Rasul itu tidak berputus asa, tapi karena cobaan dan goncangan penderitaan dan siksaan yang dihadapi umat saat itu luar biasa hebatnya, maka para Rasul itu takut para pengikutnya tidak sabar dan berbalik mendustakannya" (HR: Bukhari)Pada saat kekhawatiran para qiyadah bukan lagi pada dirinya dan keluarganya, dalam menghadapi ujian di jalan dakwah, tapi kekhawatiran itu kepada kemampuan spiritual dan psikologis kader dan umat yang mungkin tidak mampu menghadapi fitnah, maka pada saat-saat seperti ini Allah akan menurunkan pertolonganNya.

3. Kemenangan itu menurut  Allah swt, bukanlah sesuatu yang sulit dan jauh serta tidak terjangkau, kemenangan itu menurut Allah adalah pasti dan waktunya sangat dekat dan bisa Dia berikan kepada umat dan para Da'i kapan saja, namun karena ujian yang berat goncangan penderitaan yg hebat, maka seakan-akan kemenangan dan pertolongan Allah swt itu menjadi lama, bahkan menimbulkan keputusasaan, sebagaimana surat Yusuf:110 di atas.

4. Pertolongan Allah dan kemenangan yg dijanjikaNya adalah suatu kepastian, namun Allah ingin melihat kapan syarat-syarat kemenangan dan pertolonganNya terpenuhi oleh para Da'i dan hambaNya, dan syarat itu tidak pernah melampaui kemapuan dan kekuatan manusia memikulnya, firman Allah: "Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dgn kemampuannya". Maka kapan syarat-syarat itu tercapai, saat itu pula pertolongan Allah dan kemenangan akan datang.

5. Allah menjelaskan bahwa mengapa tidak mudah begitu saja memberikan kemenangan dan pertolongan kepada hambaNya, padahal mereka sudah disiksa, diusir, ditangkap dan dipenjara bahkan dibunuh? Karena surga yang Allah janjikan memang sesuatu yg tidak murah dan main-main, surga yang Allah janjikan adalah sesuatu yang sangat mahal dan berharga, yang dapat menghapus seluruh penderitaan di dunia ini dalam sekejap dan menggantinya dengan kebahagiaan dan nikmat yang abadi.

6. Ujian dan penderitaan dalam gerakan dakwah, bukanlah hal baru dalam Islam, bahkan penderitaan dan penyiksaan dalam dakwah sudah ada setelah Allah menurunkan Nabi Adam ke dunia. Oleh karenanya selama kehidupan dunia berlangsung dan  Al-Haq dan Al-Batil masih ada maka ujian, cobaan dan penderitaan tetap akan ada, sampai hari kiamat, demikian pula kemenangan dan pertolongan Allah juga akan tetap berlangsung.Wallahu a'lam

Oleh : pkspiyungan

Rabu, 16 Oktober 2013

Tak Perlu Dirisaukan Dari Arah Mana Allah Menurunkan Nikmat-Nya

Nabi Ibrahim merebahkan anak semata wayangnya dan ia menghunus pisau yang telah diasah tajam-tajam.

Anaknya Nabi Ismail dengan suka rela dan penuh penyerahan diri berkata: "Lakukanlah wahai ayahnda apa yang diperintahkan Allah kepadamu!"

Kedua-duanya tidak tahu kalau Allah sudah mempersiapkan seekor domba semenjak ribuan tahun sebagai persiapan untuk tebusan bagi Nabi Ismail pada waktu itu.Oleh karena itu yakinlah akan karuni Allah.

Tugas kita hanya taat kepada-Nya, selanjutnya serahkan semuanya kepada kehendak dan kekuasaan-Nya. Boleh jadi sesuatu yang besar sudah dipersiapkan Allah untukmu semenjak dari alam azali.

Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan anaknya Nabi Ismail di padang pasir tandus tanpa tumbuhan dan air, ia tidak tahu kalau mata air zam-zam akan memancar dari perut bumi sampai hari kiamat nanti.Untuk itu, berusaha sajalah sesuai sunnatullah seperti Siti Hajar.

Selanjutnya bertawakallah seperti Nabi Ibrahim. Berdo'alah, supaya Allah menjadikan hati-hati manusia rindu dan ringan untuk menolong agama-Nya.Setelah itu, yakinlah pertolongan Allah pasti akan datang dan kemenangan niscaya akan terwujud.

Di saat Allah mengeluarkan Nabi Yusuf dari dalam penjara, Allah tidak mengutus halilintar dari langit untuk menghancurkan jeruji besi. Dan Allah tidak memerintahkan kepada dinding penjara supaya roboh.

Akan tetapi Allah mengutus mimpi untuk menyelinap di keheningan malam ke dalam tidur sang raja yang lagi pulas. Siapa mengira kalau mimpi menjadi penyebab berpindahnya kedudukan Nabi Yusuf dari seorang terdakwa menjadi seorang penguasa.Yakinlah akan karunia Tuhanmu.

Jangan risaukan dari arah mana Dia akan menurunkan pertolongan-Nya. Yang jelas Allah tidak pernah ingkar janji.Pagi yang penuh keoptimisan dan harapan-harapan baru, insyaallah. .

Oleh : pkspiyungan

Minggu, 13 Oktober 2013

Senyum Rasulullah di hari Arafah

Suatu ketika, di saat hari Arafah tiba, Nabi saw tersenyum. Ketika beliau ditanya tentang hal ini, beliau menjawab dengan jawaban yang menggembirakan umatnya sebagaimana terdapat dalam kisah berikut ini.

Diriwayatkan oleh al-Abbas bin Mirdas ra, bahwasanya ketika hari Arafah mulai sore, Rasulullah saw berdoa untuk umatnya supaya diberi ampunan dan kasih sayang oleh Allah SWT. Waktu itu Rasulullah saw banyak memanjaatkan doa untuk umatnya dan Allah SWT mengabulkannya.

Allah berfirman, "Aku telah memenuhi permintaanmu dan mengampuni umatmu, kecuali umatmu yang melakukan kezaliman terhadap sesamanya."

Rasul saw berdoa kembali, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau mampu mengampuni orang yang zalim dan Engkau juga mampu memberikan pahala kepada orang yang dizalimi."Hanya doa ini saja yang dilantunkan berulang-ulang oleh Rasul saw pada sore di hari Arafah itu.

Keesokan harinya, di waktu pagi menjelang meninggalkan Mudzalifah, Rasulullah saw juga berdoa lagi untuk umatnya.

Setelah lama berdoa kemudian beliau tersenyum. Sahabat-sahabat bertanya kepada beliau,"Wahai Rasulullah, kami melihat anda tersenyum di waktu yang biasanya anda tidak tersenyum. Apakah gerangan yang terjadi?"

Rasulullah saw menjawab, "Saya tersenyum melihat tingkah polah musuh Allah, Iblis ketika ia tahu bahwa Allah SWT telah mengabulkan doaku untuk kebaikan umatku dan mengampuni umatku yang melakukan kezaliman. Ketika ia tahu hal itu, ia mengumpat, menghardik, dan menaburi kepalanya dengan debu. Saya tersenyum melihat ekspresi kesedihan dan keputusasaannya". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad]

*dikutip dari pkspiyungan